Risiko Gangguan Pendengaran pada Neonatus Hiperbilirubinemia

Latar belakang. Menurut data WHO tahun 2007, diperkirakan prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk Indonesia 4,2%, salah satu penyebab gangguan pendengaran adalah hiperbilirubinemia pada neonatus. Identifikasi dini gangguan pendengaran dan intervensi optimal pada usia enam bulan pertam...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Authors: Gatot Irawan Sarosa (Author), Alifiani Hikmah Putranti (Author)
Format: Book
Published: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016-11-01T00:00:00Z.
Subjects:
Online Access:Connect to this object online.
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!

MARC

LEADER 00000 am a22000003u 4500
001 doaj_b13decfe92f3447e90c20f3e04daf165
042 |a dc 
100 1 0 |a Gatot Irawan Sarosa  |e author 
700 1 0 |a Alifiani Hikmah Putranti  |e author 
245 0 0 |a Risiko Gangguan Pendengaran pada Neonatus Hiperbilirubinemia 
260 |b Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,   |c 2016-11-01T00:00:00Z. 
500 |a 0854-7823 
500 |a 2338-5030 
500 |a 10.14238/sp12.4.2010.222-7 
520 |a Latar belakang. Menurut data WHO tahun 2007, diperkirakan prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk Indonesia 4,2%, salah satu penyebab gangguan pendengaran adalah hiperbilirubinemia pada neonatus. Identifikasi dini gangguan pendengaran dan intervensi optimal pada usia enam bulan pertama dapat mencegah gangguan bicara dan bahasa, prestasi akademik, hubungan personal sosial, dan emosional pada anak. Tujuan. Membuktikan dan menganalisis risiko hiperbilirubinemia terhadap terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus. Metode. Dilakukan penelitian kohort pada 36 neonatus dengan hiperbilirubinemia di RS Dr. Kariadi, Maret 2009 - Maret 2010, terdiri dari 18 kelompok kasus dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dl dan 18 kelompok kontrol dengan kadar bilirubin indirek <12 mg/dl. Subyek penelitian dipilih menggunakan metode consecutive sampling. Dicatat data klinis, laboratorium, dilakukan tymphanometri, OtoAcustic Emission (OAE) dan Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) pertama serta OAE dan BERA tiga bulan kemudian. Analisis dilakukan dengan uji Chi-square, uji Mc Nemar dan uji t tidak berpasangan. Hasil. Kejadian gangguan pendengaran pada pemeriksaan BERA awal sebanyak 9 kasus (25%) dan 3 kasus (8,3%) pada pemeriksaan BERA kedua, secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Pada pemeriksaan BERA awal, rerata kadar bilirubin indirek tidak berbeda bermakna (p>0,05) antara neonatus dengan gangguan pendengaran 14,1 8+6,289 mg/dl dan neonatus tanpa gangguan pendengaran (11,29+2,995) mg/dl. Nilai risiko relatif (RR) 2,0 (p>0,05; 95% CI 0,6-6,8), namun secara statistik tidak bermakna. Kesimpulan. Kejadian gangguan pendengaran pada neonatus dengan hiperbilirubinemia adalah 25%. Kadar bilirubin indirek >12 mg/dl belum dapat disimpulkan sebagai faktor risiko gangguan pendengaran pada neonatus dengan hiperbilirubinemia. 
546 |a ID 
690 |a Neonatus hiperbilirubinemia 
690 |a gangguan pendengaran 
690 |a Medicine 
690 |a R 
690 |a Pediatrics 
690 |a RJ1-570 
655 7 |a article  |2 local 
786 0 |n Sari Pediatri, Vol 12, Iss 4, Pp 222-7 (2016) 
787 0 |n https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/499 
787 0 |n https://doaj.org/toc/0854-7823 
787 0 |n https://doaj.org/toc/2338-5030 
856 4 1 |u https://doaj.org/article/b13decfe92f3447e90c20f3e04daf165  |z Connect to this object online.