NIKAH MUT'AH DIPANDANG DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama, PAROIS (Prajurit Rohani Islam) dan Anggota TNI tentang Nikah Mut'ah, 2) untuk mengetahui bagaimana akibat hukum Nikah Mut'ah. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode pendekatan normatif empiris karena...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: ALFIANA, ALVIS (Author)
Format: Book
Published: 2011.
Subjects:
Online Access:Connect to this object online
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama, PAROIS (Prajurit Rohani Islam) dan Anggota TNI tentang Nikah Mut'ah, 2) untuk mengetahui bagaimana akibat hukum Nikah Mut'ah. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode pendekatan normatif empiris karena dalam penelitian ini menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif untuk mengolah dan menganalisis data-data dari lapangan yang disajikan sebagai pembahasan. Hasil penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa pelaksanaan nikah mut'ah dilandasi adanya keinginan untuk menyalurkan hasrat seksual karena tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual dalam jangka waktu tertentu. Adapun dasar tujuannya yaitu memperoleh kepuasan seksual tanpa melanggar syari'at. Akan tetapi dalam kondisi dharurat, nikah mut'ah dibenarkan ketika usaha mencari alternatif penyaluran hasrat seksual sudah maksimal, daripada berbuat zina. Sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa "Keadaan-keadaan dharurat itu membolehkan larangan-larangan". Seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 173 dan Al-Qur'an Surat An'am ayat 145. Akibat hukum dari Nikah Mut'ah, dalam hal tanggung jawab terhadap anak, didalam nikah permanen seorang ayah bertanggungjawab atas nafkah dan pendidikan anak, meskipun telah terjadi perceraian. Jika anak masih kecil maka isterilah yang paling berhak memelihara dan merawat anak itu hingga dewasa. Tetapi dalam nikah mut'ah sang suami tidak selalu berstatus ayah, tergantung pada perjanjian ketika akad dilangsungkan, apakah anak itu ikut bapaknya atau ibunya, begitu pula dengan masalah pendidikan dan tanggungjawabnya. Dan dalam hal harta warisan, didalam nikah permanen jika suami atau isteri meninggal maka disyaratkan suami atau isteri saling mewarisi. Berbeda dengan nikah mut'ah dimana suami isteri tidak saling mewarisi meskipun anaknya dapat mewarisi harta warisan ayah dan ibunya.
Item Description:https://eprints.ums.ac.id/12119/1/2._HALAMAN_DEPAN.pdf
https://eprints.ums.ac.id/12119/3/3._BAB_I.pdf
https://eprints.ums.ac.id/12119/4/4._BAB_II.pdf
https://eprints.ums.ac.id/12119/6/5._BAB_III.pdf
https://eprints.ums.ac.id/12119/8/6._BAB_IV.pdf
https://eprints.ums.ac.id/12119/9/7._DAFTAR_PUSTAKA.pdf