Terpasungnya Masyarakat Kerinci Dalam Pengelolaan Hutan(Sebuah Model Hubungan Masyarakat Kerinci dengan Hutan)

Masyarakat Kerinci adalah masyarakat peresekutuan adat yang berdiam Kabupaten Kerinci, yang luas wilayahnya adalah 380.850 Ha dan dari total luas wilayah tersebut 191.822 Ha, adalah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dengan demikian 50,37 % dari total luas wila yah Kabupaten Kerinci diklaim oleh...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Padmi, Hendri (Author)
Format: Book
Published: 2012.
Subjects:
Online Access:Connect to this object online
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Masyarakat Kerinci adalah masyarakat peresekutuan adat yang berdiam Kabupaten Kerinci, yang luas wilayahnya adalah 380.850 Ha dan dari total luas wilayah tersebut 191.822 Ha, adalah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dengan demikian 50,37 % dari total luas wila yah Kabupaten Kerinci diklaim oleh negara sebagai areal TNKS, sisanya seluas 189.027,70 Ha atau 49,63%, digunakan sebagai kawasan hunian dan budidaya . Tujuan penelitian ini 1) untuk mengetahui pengelolaan hutan dalam perspektif historis di Kabupaten Kerinc i, 2) untuk mengetahui pengelolaan hutan ditinjau dari perspektif politik hukum di Kabupaten Kerinci, dan 3) untuk mengetahui model pengelolaan hutan dari perspektif kearifan lokal masyarakat di Kabupaten Kerinci. Perkembangan perundang-undangan di bidang kehutanan pada pemerintahan zaman Belanda, pengelolaan dan kepemilikan hutan diatur oleh ahli-ahli kehutanan yang dididik oleh pemerintahan hindia belanda. Perkembangan perundang-undangan di bidang kehutanan pada zaman Jepang, pada periode ini hanya digambarkan oleh teks -teks dalam buku pengajaran ilmu kehutanan. Perkembangan perundang-undangan di bidang kehutanan pada zaman orde lama, pengurusan hutan masih melihat hutan sebagai sebuah lahan dan area dimana manusia dan komunitas tidak berperan di dalamnya. Perkembangan perundang-undangan di bidang kehutanan pada zaman orde baru tidak ada satupun masyarakat hukum adat yang bisa dan mampu memperjuangkan hak-haknya karena kuatnya regim orde baru. Penggunaan tanah hak ulayat yang masih berupa hutan belukar langsung bisa digunakan oleh negara dengan ganti rugi yang sangat kecil bahkan nyaris tidak dapat ganti rugi. Perkembangan perundang-undangan di bidang kehutanan pada zaman reformasi, peraturan ini dibuat untuk menyelesaikan sengketa lahan dan hutan antara masyarakat hukum adat dengan pihak perusahaan dan pemerintah yang makin meningkat seiring dengan sadarnya masyarakat untuk membela hakhaknya setelah era reformasi. Aturan-aturan hukum adat tersebut sudah dikenal oleh masyarakat adat sejak dari nenek moyang sebelum agresi Belanda masuk ke indonesia. Sumber daya hutan seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran rakyat dalam jangka panjang baik untuk saat ini maupun untuk generasi yang akan datang dengan tetap mendasarkan kepada pemanfaatan hutan yang lestari, dan juga harus menghormati hak masyarakat adat setempat. Model pengelolaan hutan yang seharusnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam hal ini berperan sebagai mentor dan fasilisator yang bekerjasama dengan NGO atau LSM yang kridibel dibidang kehutanan untuk mendorong masyarakat sebagai subjek pengelola hutan melalaui pelatihan-pelatihan, penyuluhpenyuluhan dan pendidikan lainnya untuk mengasah dan meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Item Description:https://eprints.ums.ac.id/24241/1/1._HALAMAN_DEPAN.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/2/2._BAB_I.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/3/3._BAB_II.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/4/4._BAB_III.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/5/5._BAB_IV.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/6/6._BAB_V.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/7/7._DAFTAR_PUSTAKA.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/8/8._LAMPIRAN.pdf
https://eprints.ums.ac.id/24241/9/10._ARTIKEL_PUBLIKASI.pdf