PELAKSANAAN OTONOMI DESA PADA MASA HINDIA BELANDA SAMPAI MASA REFORMASI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan otonomi desa dari pemerintahan Hindia Belanda, Orde Lama, Orde Baru sampai pada era Reformasi. Penelitian ini berdimensi ganda yaitu penelitian normatif sekaligus penelitian empiris, sehingga penelitian ini mengkaji serta mengkompar...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: SEJATI , WULAN (Author)
Format: Book
Published: 2010.
Subjects:
Online Access:Connect to this object online
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan otonomi desa dari pemerintahan Hindia Belanda, Orde Lama, Orde Baru sampai pada era Reformasi. Penelitian ini berdimensi ganda yaitu penelitian normatif sekaligus penelitian empiris, sehingga penelitian ini mengkaji serta mengkomparasikan isi muatan perundangan otonomi daerah, peraturan daerah dan pelaksanaan yang berkisar tentang Pemerintahan Desa. Demikian pula mengkaji pada kancah pemerintahan desa yang meliputi Desa Karang dan Desa Karangpandan yang berada pada wilayah Kabupaten Karanganyar. Hasil dalam penelitian skripsi ini menjelaskan bahwa pelaksanaan otonomi desa dalam setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur, tidak memberikan otonomi. Pada pemerintahan Hindia belanda, dalam peraturannya (IGO/IGOB) tidak menyeragamkan susunan dan bentuk desa, tetapi peraturan ini menganut sisitem pembantuan sehingga membatasi kewenangan dari kepala desa yang harus tunduk kepada Bupati dan Residen, hal tersebut menjadikan desa tidak otonom. Di Orde Lama pengaturan desa masih menggunakan IGO/IGOB sampai keluarnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja, Undang-Undang ini bermaksud menyeragamkan nama dan bentuk desa menjadi Desapraja. Tetapi Undang-Undang No. 19 tahun 1965 dicabut dan belum sempat dilaksanakan diberbagai daerah, pengaturan desa kembali menggunakan IGO/IGOB. Kemudian pada masa Orde Baru di keluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Sejak keluarnya Undang-Undang tersebut terjadi uniformitas (penyeragaman) desa, desa-desa di luar Jawa di seragamkan seperti desa di Jawa sehingga menghilangkan pluralistik, hal ini jelas tidak otonom. Seiring bergulirnya Reformasi, terbentuklah Undang-Undang 22 Tahun 1999 Tentang pemerintahan daerah, yang di dalamnya juga mengatur tentang desa. Undang-Undang ini memberikan ruang demokrasi dan otonomi di tingkat desa dengan adanya Badan perwakilan Desa (BPD), yaitu badan legislatif di tingkat desa, serta mengedepankan landasan prinsip yaitu Keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Tidak lama kemudian Undang-Undang pemerintahan daerah diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, Undang-Undang ini kembali menutup pintu otonomi terhadap desa, yaitu dengan hilangnya fungsi pengawasan daripada BPD. Desa menjadi tidak otonom karena terdapat intervensi dari pemerintah kabupaten dengan adanya tugas pembantuan.
Item Description:https://eprints.ums.ac.id/9978/1/C100060174.pdf
https://eprints.ums.ac.id/9978/2/C100060174.pdf