JEJAK SEMIOTIK RADIKALISME DI INSTAGRAM: analisis tanda pada unggahan bertagar radikalisme

Istilah radikalisme merupakan paham yang menginginkan perubahan dan pembaharuan pada kelas sosial dan politik sebagai kritik terhadap kesenjangan yang terjadi antara kaum proletar dan borjuis. Sebagai platform dengan 200 juta pengguna dari berbagai negara, Instagram menghimpun lebih dari 33 juta ung...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Fakhria Nabila Ghisani, - (Author)
Format: Book
Published: 2021-08-30.
Subjects:
Online Access:Link Metadata
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Istilah radikalisme merupakan paham yang menginginkan perubahan dan pembaharuan pada kelas sosial dan politik sebagai kritik terhadap kesenjangan yang terjadi antara kaum proletar dan borjuis. Sebagai platform dengan 200 juta pengguna dari berbagai negara, Instagram menghimpun lebih dari 33 juta unggahan bertagar radikalisme dengan tanda-tanda semiotik dalam konteks yang beragam. Penelitian ini mengungkap dua hal. Pertama, jejak semiotik radikalisme di Instagram. Kedua, konteks yang melatarbelakangi unggahan bertagar radikalisme di Instagram. Penelitian deskriptif kualitatif ini menggunakan teori Semiotika Pragmatis Peirce yang menganalisis tanda-tanda semiotika dalam bentuk representamen, objek, dan interpretan pada aspek visual dan verbal dari unggahan bertagar radikalisme. Selain itu, peneliti juga menggunakan teori Roland Barthes untuk menganalisis makna denotasi dan konotasi pada caption unggahan bertagar radikalisme. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing ranah sosial memiliki interpretasi tersendiri dalam memaknai radikalisme. Adapun perinciannya ialah sebagai berikut. Pertama, akun keagamaan serta masyarakat umum memaknai istilah radikalisme sebagai ancaman yang dapat menjatuhkan kesucian agama. Kedua, akun lembaga negara yang diwakilkan oleh TNI mengambil istilah radikalisme untuk mengklasifikasikan aliran ekstrem pada salah satu agama. Ketiga, beberapa akun kritik politik menggunakan tagar radikalisme pada unggahannya yang masing-masing berisi kritikan berikut ini: (a) tuturan pemerintah yang menggunakan istilah radikal untuk pria berparas tampan (good looking), (b) tuturan pemerintah yang menyatakan bahwa pihak yang berlawanan dengan pemerintah (oposisi) adalah radikal dan terpapar radikalisme, (c) filsafat politik Machiavelli, (d) sikap pemerintah yang menuduh radikalis dengan cara "radikalis". Dengan demikian, proses semiosis yang diterima masyarakat maya melalui unggahan bertagar radikalisme di Instagram tidak cocok dengan konvensi kebahasaan yang merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. The term radicalism is a school of thought that wants change and renewal in social and political classes as a critique of the gap between the proletariat and the bourgeoisie. As a social media platform with 200 million users from various countries, Instagram compiles more than 33 million posts tagged with radicalism with semiotic signs in various contexts. This research reveals two things. First, the semiotic traces of radicalism on Instagram. Second, the context behind uploads tagged with radicalism on Instagram. This qualitative descriptive study uses Peirce's Pragmatic Semiotics theory which analyzes semiotic signs in the form of representations, objects, and interpretants on the visual and verbal aspects of uploads tagged with radicalism. In addition, the researcher also uses Roland Barthes' theory to analyze the meaning of denotation and connotation contained in the captions of uploads tagged with radicalism. The findings of this study show that each social domain has its own interpretation in interpreting radicalism. The details are as follows. First, religious accounts and the public interpret the term radicalism as a threat that can bring down religious sanctity. Second, the account of state institutions represented by the TNI uses the term radicalism to classify extreme sects in one religion. Third, several accounts of political criticism use the hashtag of radicalism in their uploads, each of which has the following criticisms: (a) government statements that use the term radical for good-looking men, (b) government statements stating that parties opposed to the government (the opposition) is radical and exposed to radicalism, (c) Machiavelli's political philosophy, (d) the government's attitude that accuses radicals of being "radicalize". Thus, the semiosis process accepted by the virtual community through uploads tagged with radicalism on Instagram does not match the linguistic conventions that refer to the Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Item Description:http://repository.upi.edu/68482/7/S_BSI_1702760_Title.pdf
http://repository.upi.edu/68482/2/S_BSI_1702760_Chapter1.pdf
http://repository.upi.edu/68482/3/S_BSI_1702760_Chapter2.pdf
http://repository.upi.edu/68482/4/S_BSI_1702760_Chapter3.pdf
http://repository.upi.edu/68482/5/S_BSI_1702760_Chapter4.pdf
http://repository.upi.edu/68482/6/S_BSI_1702760_Chapter5.pdf
http://repository.upi.edu/68482/1/S_BSI_1702760_Appendix.pdf