ANALISIS KONTRASTIF KESANTUNAN TINDAK TUTUR MENGKRITIK DALAM BAHASA JEPANG DAN BAHASA MINANGKABAU

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan strategi tindak tutur mengkritik yang digunakan di dalam bahasa Jepang dan bahasa Minangkabau dengan menggunakan data yang bersumber dari film berbahasa Jepang dan film berbahasa Minangkabau. Data dalam penelitian ini dikumpulkan deng...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Amelya Septiana, - (Author)
Format: Book
Published: 2022-04-27.
Subjects:
Online Access:Link Metadata
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan strategi tindak tutur mengkritik yang digunakan di dalam bahasa Jepang dan bahasa Minangkabau dengan menggunakan data yang bersumber dari film berbahasa Jepang dan film berbahasa Minangkabau. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode simak, libas cakap, kemudian dimasukkan ke dalam kartu data. Selanjutnya, data diklasifikasikan berdasarkan strategi tindak tutur mengkritik yang mengacu pada teori Nguyen (2005) dan strategi kesantunan tindak tutur mengkritik yang mengacu pada teori kesantunan Brown and Levinson (1987). Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat dua strategi tindak tutur mengkritik yang digunakan dalam bahasa Jepang dan bahasa Minangkabau, yaitu strategi mengkritik langsung dan tidak langsung. Strategi mengkritik langsung terdapat 6 substrategi, yaitu evaluasi negatif, ketidaksetujuan, ekspresi pertentangan, identifikasi masalah, pernyataan kesulitan, dan konsekuensi. Sedangkan, strategi mengkritik tidak langsung terdapat 9 substrategi, yaitu koreksi, mengindikasikan standar, menceramahi, tuntutan perubahan, permintaan perubahan, nasihat perubahan, saran perubahan, ekspresi ketidakpastian, dan menanyakan/pengandaian. Selanjutnya, dilihat dari teori kesantunan, penutur bahasa Jepang lebih cenderung menggunakan strategi kesantunan tidak langsung (off record) saat mengkritik, sedangkan masyarakat Minangkabau cenderung menggunakan strategi kesantunan langsung (bald on record) saat mengkritik mitra tuturnya. Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga mengkonfirmasi bahwa di dalam bahasa dan masyarakat yang sama-sama punya konsep bahasa santun ternyata memperlihatkan kecenderungan yang berbeda dalam konteks penerapan strategi tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan yang digunakan saat interaksi sosial. Tendensi ini dipengaruhi oleh etnografi komunikasi di setiap budaya. Misalnya, masyarakat Minangkabau yang cenderung blak-blakan meskipun tetap menerapkan konsep kesantunan kato nan ampek. Sedangkan di Jepang, masyarakatnya cenderung bergaya lebih formal kepada orang yang baru dikenal dan menjunjung tinggi keharmonisan dalam interaksi sosial. This study aims to determine the similarities and differences in criticism speech act strategies used in Japanese and Minangkabau language by using data sourced from Japanese films and Minangkabau language films. The data in this study were collected using the listening method, libas cakap, then entered into a data card. Furthermore, the data are classified based on the criticism speech act strategies which invokes to the theory of Nguyen (2005) and the criticism speech act politeness strategies which refers to the politeness framework of Brown and Levinson (1987). The results found that there are two criticism speech act strategies used in Japanese and Minangkabau, namely direct and indirect criticism strategies. There are 6 direct criticism strategies, namely negative evaluation, disagreement, expression of contradiction, problem identification, statement of difficulty, and consequences. Meanwhile, the indirect criticism strategies contain 9 substrategies, namely correction, indicating standards, lecturing, demand for change, request for change, advice for change, suggestion for change, expression of uncertainty, and asking/presupposing. Moreover, judging from politeness theory, Japanese speakers tend to use indirect politeness strategies (off record) when criticizing, while Minangkabau people tend to use direct politeness strategies (bald on record) when criticizing their interlocutors. In addition, the results of this study also confirm that in the language and society that both have the concept of polite language, it turns out that there are different tendencies in the context of applying criticism speech act strategies and politeness strategies used during social interactions. This tendency is influenced by the ethnography of communication in each culture. For example, the Minangkabau people tend to be outspoken even though they still apply the concept of kato nan ampek politeness. Meanwhile in Japan, people tend to have a more formal style to new people and uphold harmony in social interactions.
Item Description:http://repository.upi.edu/72125/1/T_BJPN_2010192_Title.pdf
http://repository.upi.edu/72125/2/T_BJPN_2010192_Chapter1.pdf
http://repository.upi.edu/72125/3/T_BJPN_2010192_Chapter2.pdf
http://repository.upi.edu/72125/4/T_BJPN_2010192_Chapter3.pdf
http://repository.upi.edu/72125/5/T_BJPN_2010192_Chapter4.pdf
http://repository.upi.edu/72125/6/T_BJPN_2010192_Chapter5.pdf
http://repository.upi.edu/72125/7/T_BJPN_2010192_Appendix.pdf