GERAKAN PEREMPUAN DI KOREA SELATAN 1990-2015: PENYELESAIAN ISU JEONGSHINDAE

Gerakan jeongshindae dilakukan oleh korban sistem perbudakan seksual militer pada masa pendudukan Jepang di Korea (1910-1945), bersama dengan aktivis perempuan di Korea Selatan yang melancarkan agendanya untuk mencari keadilan. Ketika pendudukan Jepang berakhir, penyintas jeongshindae seakan bungkam...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Ernasari, - (Author)
Format: Book
Published: 2022-08-30.
Subjects:
Online Access:Link Metadata
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!

MARC

LEADER 00000 am a22000003u 4500
001 repoupi_83452
042 |a dc 
100 1 0 |a Ernasari, -  |e author 
245 0 0 |a GERAKAN PEREMPUAN DI KOREA SELATAN 1990-2015: PENYELESAIAN ISU JEONGSHINDAE 
260 |c 2022-08-30. 
500 |a http://repository.upi.edu/83452/1/S_SEJ_1801608_Title.pdf 
500 |a http://repository.upi.edu/83452/2/S_SEJ_1801608_Chapter%201.pdf 
500 |a http://repository.upi.edu/83452/3/S_SEJ_1801608_Chapter%202.pdf 
500 |a http://repository.upi.edu/83452/4/S_SEJ_1801608_Chapter%203.pdf 
500 |a http://repository.upi.edu/83452/5/S_SEJ_1801608_Chapter%204.pdf 
500 |a http://repository.upi.edu/83452/6/S_SEJ_1801608_Chapter%205.pdf 
500 |a http://repository.upi.edu/83452/7/S_SEJ_1801608_Appendix.pdf 
520 |a Gerakan jeongshindae dilakukan oleh korban sistem perbudakan seksual militer pada masa pendudukan Jepang di Korea (1910-1945), bersama dengan aktivis perempuan di Korea Selatan yang melancarkan agendanya untuk mencari keadilan. Ketika pendudukan Jepang berakhir, penyintas jeongshindae seakan bungkam padahal sistem jūgun'ianfu melanggar hukum internasional Konvensi Perbudakan 1926. Hal ini menjadi landasan bagi peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan mengkaji dinamika gerakan jeongshindae pada tahun 1990-2015. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, dan historiografi. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pemerintah asal negara penyintas yaitu Korea Selatan dan pelaku yakni pemerintah Jepang kurang memerhatikan reparasi bagi penyintas, hal ini dilihat dari kegagalan Perjanjian Dasar Korea Selatan-Jepang dan sistem patriarki di Korea Selatan. Namun, keadaan ini yang ditambah dengan pengaruh kristenisasi memicu bertumbuhnya organisasi pergerakan yang melancarkan agenda dan tuntutan jeongshindae. Di dalamnya terjadi dinamika terutama dalam respon pemerintah Jepang yang menolak pertanggungjawaban hukum. Ketika posisi pemerintah Jepang berubah menjadi mengakui mendapat kecaman dari neo-nasionalis sehingga menimbulkan kontroversi dan mengubah kembali posisi Jepang. Pergerakan didukung pula oleh organisasi-organisasi di negara lain dan membentuk suatu jaringan advokasi transnasional yang kuat dan juga melibatkan organisasi antarpemerintah untuk menambah tekanan bagi Jepang agar segera memenuhi tuntutan sebagai akibat dari penolakannya. Resolusi dari DPR AS dan perjanjian antara Korea Selatan dan Jepang tercapai. Namun pada akhirnya, resolusi diabaikan pemerintah Jepang dan perjanjian dilakukan sepihak sehingga pertanggungjawaban hukum dan pemenuhan tuntutan penyintas tidak terpenuhi dengan demikian isu jeongshindae tidak dapat diselesaikan pada tahap ini. Jeongshindae movement carried out by victims of military sexual slavery system during Japanese occupation of Korea (1910-1945), with women activists in South Korea who launched their agenda to seek justice. When Japanese occupation ended, survivors seemed silent even though jūgun'ianfu system violated international law of 1926 Slavery Convention. That's why researcher interested in raising the issue by examining dynamics of jeongshindae movement from 1990-2015. Historical research method used in this study which consist of heuristics, criticism, and historiography. For the result, it found that South Korean and Japanese government, did not pay much attention to reparations for survivors, this can be seen from the failure of South Korea-Japan Basic Agreement and patriarchal system in South Korea. However, this situation and with influence of Christianization, triggered growth of movement organizations that launched the agenda and demands of jeongshindae. There are dynamics, especially response of Japanese government which refused legal responsibility. When their position changed to admit, neo-nationalists criticized, causing controversy, and changed Japan's position again. The movement also supported by organizations in other countries and formed strong transnational advocacy network that also involved intergovernmental organizations to increase pressure for Japan. A resolution from US House of Representatives and an agreement between South Korea and Japan were reached. In the end, the resolution ignored by Japanese government and the agreement made unilaterally so that legal accountability and fulfillment of the survivors' demands were not fulfilled, thus jeongshindae issue could not be resolved at this stage. 
546 |a en 
546 |a en 
546 |a en 
546 |a en 
546 |a en 
546 |a en 
546 |a en 
690 |a L Education (General) 
690 |a LA History of education 
655 7 |a Thesis  |2 local 
655 7 |a NonPeerReviewed  |2 local 
787 0 |n http://repository.upi.edu/83452/ 
787 0 |n http://repository.upi.edu 
856 |u https://repository.upi.edu/83452  |z Link Metadata