PELAKSANAAN PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO.31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

Desersi merupakan tindak pidana militer murni, karena hanya dapat dilakukan oleh seorang militer atau orang yang dipersamakan dengan militer. Tindak pidana desersi diatur di dalam ketentuan pasal 87 KUHPM yang menyebutkan bahwa desersi merupakan perbuatan lari meninggalkan kewajiban dinasnya sebagai...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Haviz Hardiansyah, - (Author)
Format: Book
Published: 2013-02-27.
Subjects:
Online Access:Link Metadata
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Desersi merupakan tindak pidana militer murni, karena hanya dapat dilakukan oleh seorang militer atau orang yang dipersamakan dengan militer. Tindak pidana desersi diatur di dalam ketentuan pasal 87 KUHPM yang menyebutkan bahwa desersi merupakan perbuatan lari meninggalkan kewajiban dinasnya sebagai militer. Dalam penyelesaian tindak pidana desersi sering menemui kesulitan yaitu pelakunya sulit untuk diketemukan karena sejak awal pelakunya memiliki niat untuk meninggalkan dinas dan kesatuan untuk selama- lamanya sehingga tidak dapat dihadirkan di dalam persidangan. Pada awalnya penyelesaian perkara desersi yang pelakunya sulit untuk diketemukan dilakukan dengan melalui putusan Niet Ontvaarkelijk Verklaard (N.O). Namun, putusan N.O tersebut dianggap belum secara tuntas menyelesaikan perkara desersi. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan untuk dilakukannya peradilan in absentia dalam penyelesaian perkara desersi. Karena berbeda dengan putusan N.O, dalam pelaksanaannya peradilan in absentia tetap memeriksa substansi perkaranya meskipun tidak dihadiri oleh terdakwa. Hal tersebut telah tertuang di dalam ketentuan pasal 124 ayat 4 yang mengatur mengenai penyidikan secara in absentia, pasal 141 ayat 10 yang mengatur mengenai persidangan secara in absentia, dan pasal 143 Undang-undang No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur mengenai syarat-syarat agar dapat dilaksanakannya peradilan in absentia dalam perkara desersi. Namun, di dalam pelaksanaannya sering ditemui permasalahan-permaslahan yang berkaitan dengan pasal-pasal terserbut. Diantaranya mengenai batasan tindak pidana desersi secara in absentia, perkara desersi yang disidik secara in absentia namun pelakunya hadir dipersidangan, dan mengenai batasan jangka waktu penyelesaian perkara selama 6 bulan yang dianggap berlarut-larut. Oleh sebab itu terdapat beberapa pendapat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yakni, batasan tindak pidana desersi adalah setiap perkara desersi yang pelakunya tidak dapat diketemukan di dalam persidangan, apabila tersangka hadir di dalam persidangan yang penyidikannya secara in absentia maka berkas perkara di kembalikan kepada otmil, dan untuk tenggang waktu 6 bulan dapat dipersingkat menjadi hanya 3 bulan dengan alasan- alasan yang berkaitan dengan keutuhan dan mobilitas satuan.
Item Description:http://repository.upnvj.ac.id/1917/2/AWAL.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/1/ABSTRAK.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/3/BAB%20I.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/4/BAB%20II.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/5/BAB%20III.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/6/BAB%20IV.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/7/BAB%20V.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/9/Daftar%20Pustaka.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/8/RIWAYAT%20HIDUP.pdf
http://repository.upnvj.ac.id/1917/10/LAMPIRAN.pdf